SANG KIAI: FILM KEMANUSIAAN

Siapapun yang melawan penjajah, dia adalah pahlawan ~K.H. Hasyim Asy’ari

Dalam menyambut dan memperingati hari Pahlawan, KALeM (Kajian Film) Psikologi UPI dengan antusias telah memutar film “Sang Kiai” di Ruang Prolog Museum Pendidikan Nasional, Kampus UPI Bandung. Film yang diputar pada hari Jumat, 09 November 2018 tersebut dihadiri oleh berbagai apresiator film, mulai dari mahasiswa S1, S2, S3, hingga beberapa dosen dari Prodi Psikologi, Bimbingan Konseling, Pendidikan IPS, dan Pendidikan Bahasa Indonesia.

Film dengan jelas menggambarkan bagaimana situasi pesantren di Desa Tebuireng, Jombang, yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari pada masa pra-kemerdekaan hingga masa kemerdekaan tersebut menunjukkan bahwa betapa banyak tantangan yang dihadapi oleh KH. Hasyim Asy’ari beserta santri-santrinya. Namun demikian KH. Hasyim Asy’ari tidak sedikitpun takut atau menyerah, dengan tetap setia menjaga ketauhidan kepada Allah swt., beliau menunjukkan sikap dan perilaku yang senantiasa menjadi teladan. Beliau sungguh menjadi guru yang baik dan sangat dihormati santri-santrinya, hingga pada akhirnya beliau mampu menggerakkan santri-santrinya dalam memperjuangkan, meraih, dan mengawal kemerdekaan Indonesia.

Dr. H. Mamat Supriatna, M.Pd., dosen Departemen Bimbingan dan Konseling FIP UPI, yang pada sore itu sebagai pembahas film menyampaikan bahwa “film ini merupakan film epic tauhid yang bagus.”

Sang Kiai yang mengangkat kehidupan KH. Hasyim Asy’ari merupakan seorang muslim yang sejati. Beliau memiliki akar kuat yang menjulang ke bawah, sehingga ibarat pohon, maka dahan, ranting, hingga daun-daunnya bermanfaat bagi kehidupan di sekitarnya. Hal ini beliau tunjukkan dalam berbagai peran yang beliau jalankan pada kehidupannya.

Dalam kajian ini, Bapak Mamat menjelaskan beberapa peran tersebut. Peran pertama, KH. Hasyim Asy’ari sebagai seorang bapak, dalam film tersebut jelas tergambar bahwa beliau mampu menjadi imam yang membuat keluarganya harmonis, beliau mampu menanamkan nilai bahwa segala sesuatu harus berkaitan dalam kesepakatan keluarga, dan akhirnya semua anggota keluarganya paham dan saling memahami.

Peran kedua, beliau menjadi pemimpin pesantren. Menjadi pemimpin pesantren yang tidak mudah, tergambar dengan jelas ketika beliau ditangkap oleh pihak Jepang, dan dipaksa untuk membuat pengakuan atas ‘peristiwa Cukir’ yang  beliau tidak tahu-menahu. Ketika disuruh melakukan Sekerei –untuk menyembah matahari– beliau pun menolak. Dalam hal ini beliau sama sekali tidak goyah, beliau justru berpegang teguh pada aqidah dengan kuat dan lebih memillih disiksa daripada menuruti apa yang diinginkan oleh Jepang.

Peran ketiga, beliau menjadi pimpinan kiai di Jawa dan Madura. Peran yang memiliki tantangan yang lebih hebat ini pada akhirnya mampu beliau emban dengan cukup baik. KH. Hasyim Asy’ari mampu menyamakan berbagai pandangan dari para kiai. Manakala beliau berperan menjadi pemimpin para kiai, beliau mampu menyesuaikan dengan bahasa kiai; sementara ketika beliau menghadapi pemerintah, beliau dapat menyesuaikan dengan bahasa politis.

Kemudian peran keempat, menjadi panutan dan pengayom masyarakat. Ketika menghadapi masyarakat beliau dapat menyesesuaikan dengan bahasa masyarakat, yang lebih mudah dipahami.

Melalui paparan kajian tersebut, menunjukkan betapa pentingnya seorang pemimpin mampu melihat keadaan dan mengkomunikasikan pesan dengan bahasa yang sesuai dengan lawan bicaranya. Tidak hanya itu, KH. Hasyim Asy’ari juga telah memberikan teladan bahwa menjadi pemimpin berarti selalu memberi harapan bukan ratapan.

Selain itu, menurut Bapak Mamat yang pernah menjadi Kaprodi Ilmu Pendidikan Guru di SPs UPI,  film “Sang Kiai” merupakan film kemanusiaan yang kaya akan nilai-nilai, dan sangat direkomendasikan agar film ini ditonton oleh para mahasiswa, terutama para pimpinan ormawa.*

 

____

Penulis: Ayu Kusuma

(Mhs Psikologi’17 FIP UPI)

Admin http://psikologi.upi.edu