MANUSIA vs ANJING. MANA YANG LEBIH PENTING?

MANUSIA vs ANJING.

MANA YANG LEBIH PENTING?

Oleh: Fathiyatus Syafigah

Amphitheater ramai. Puluhan orang berbaris rapi, menggenggam selembar tiket yang akan ditunjukkan ke petugas sebelum masuk ke gedung dengan luas 1060m2 itu. Banner cukup besar yang menjadi photoboth dipenuhi penonton untuk mengabadikan momen keseruan malam itu bersama kawan segerombol. Setidaknya ada mahasiswa Psikologi UPI sekitar 10 orang yang turut mengapresiasi pementasan teater pada malam itu, Rabu, 4 Desember 2019. Nampaknya, Kisah Cinta dan Lain-lain milik Arifin C. Noer berhasil mencuri perhatian banyak orang. Terbukti dari hadirnya ratusan penonton yang antusias dan mata yang berbinar bahagia.

Kisah yang menceritakan sebuah keluarga, tuan berkepala botak nan kaya dan nyonya yang modis dan mengenakan banyak perhiasan,  yang memiliki anjing Bulldog kesayangan yang sudah tua dan sakit beserta dua pembantu mereka yang lucu bernama Inem dan Otong berlangsung selama hampir dua jam. Riuh tawa beberapa kali memenuhi ruangan karena naskah dan pembawaan yang menarik dari para aktor. Disutradarai Ayip Saepudin, teater berlangsung penuh makna dan tersusun rapi.

Naskah teater itu sendiri menceritakan sebuah keluarga unik yang belum dikaruniai seorang anak dan memiliki seekor anjing tua yang sedang sakit, membuat tuan & nyonya memanggil banyak penolong. Namun naas, tidak ada yang mampu menyembuhkan sang anjing dan membuat nyonya besar sedih dan marah. Betapa istimewanya anjing tua itu hingga seluruh orang yang ada di rumah sibuk dan panik karena seekor anjing.

Sepanjang jalan cerita, beberapa kali muncul konflik dari tokoh lain. Otong, supir keluarga itu mendapat kabar bahwa anaknya sedang sakit dan tidak diizinkan pulang oleh majikannya. Ya, oleh tuan dan nyonya besar tersebut dengan alasan bahwa mobil harus siap kapanpun dibutuhkan. Segala upaya dilakukan dengan memanggil dokter yang disebut bodoh karena tidak mampu menyembuhkan, profesor genit yang juga tidak mampu membantu sang anjing, sampai seorang dukun kenalan Otong yang menyebutkan bahwa “Anjing itu telah berpaling ke hati yang lain,”. Lagi dan lagi, Nyonya besar tidak terima dan menyuruh orang-orang di rumahnya menempuh jalan akhir, yaitu berdoa tanpa henti. Hasilnya, anjing tua kesayangan nyonya itu meninggal juga.

Saat anjing tersebut mati, nyonya sangat sedih dan meminta suaminya untuk mengabarkan kepada seluruh tetangga, memanggil wartawan, dan meminta suaminya membuatkan pidato kematian. Betapa anjing diperlakukan seperti layaknya manusia yang mati.

Tokoh pendukung lain muncul, seorang wanita hamil bernama Euis yang mengaku bahwa ia sedang mengandung anak si Otong dan berkunjung ke rumah tuan dan nyonya untuk mencari kekasihnya. Saat sampai, tidak satupun orang yang menghiraukan ucapan Euis. Tuan dan nyonya sibuk dengan anjingnya. Sampai pada akhir dan penutup naskah, seorang lelaki bertubuh subur menyampaikan kabar duka bahwa anak Otong meninggal, dan tidak ada secercah kepedulian dari tuan dan nyonya besar.

Betapa seekor anjing ternyata lebih berharga dari nyawa seorang manusia di mata orang-orang berada.

Keluarga di zaman saat naskah ini dibuat seperti memiliki strata yang agak ganjil. Istri lebih menomorsatukan binatang piaraan ketimbang perhatian dari suami. Tuan dan Nyonya lebih melayani tamu yang membahas kematian anjing ketimbang merespon keluarga Otong yang anaknya meninggal.

Naskah ini menarik karena melibatkan hal begitu kontras. Manusia dan hewan. Dengan menyampaikan makna yang sederhana namun kaya. Mencerminkan realitas kehidupan yang terjadi. Teater selalu bisa menyampaikan hal tanpa menasihati, karena tidak semua orang senang dengan nasihat, tapi bisa dipastikan semua orang suka dengan cerita.**

 

Admin http://psikologi.upi.edu

Leave a Reply