Mana yang Lebih Penting, Literasi atau “Coding”?

Mana yang Lebih Penting, Literasi atau “Coding”?

Oleh Ifa Hanifah Misbach


Kompasiana 05 Dec 2024 08:00 WIB ·

https://www.kompas.id/artikel/mana-yang-lebih-penting-literasi-atau-coding

Apakah coding dan kecerdasan buatan perlu diajarkan sejak di tingkat sekolah dasar? Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ingin menerapkan pelajaran coding sejak di tingkat sekolah dasar sebagai bagian dari gagasan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Gibran ingin agar generasi muda Indonesia menguasai sejumlah keahlian di bidang kecerdasan buatan, coding, termasuk mendukung pernyataan Presiden Prabowo Subianto untuk memperkenalkan pelajaran Matematika di tingkat taman kanak-kanak.

BUKAN HAL BARU
Pernyataan Gibran tersebut sebenarnya sudah sangat terlambat, seolah coding merupakan hal baru di dunia pendidikan. Umumnya, coding dipahami sebagai penulisan kode menggunakan bahasa pemrograman komputer. Proses coding harus mengikuti aturan sintaks yang dapat dipahami komputer, diibaratkan seperti bahasa sehari-hari atas perintah yang diberikan oleh programmer.

Komputer merupakan mesin yang hanya mampu menjalankan perintah sesuai dengan aturan sintaks yang telah ditentukan. Kesalahan kode pada aturan sintaks dapat mengakibatkan kesalahan dalam pelaksanaan perintah oleh komputer.

Jika pengertian coding hanya diartikan sempit terkait teknologi, hal ini tidak akan membawa pada pemahaman mendalam bahwa di balik coding diperlukan keterampilan cara berpikir manusia yang justru ditiru komputer. Keterampilan berpikir ini mengacu pada cara berpikir komputasional (computational thinking) yang saling melengkapi dengan keterampilan memecahkan masalah (problem solving).

Sejarah cara berpikir komputasional dimulai oleh Papert (1996) di Departemen Matematika Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang mengenalkan ”cara berpikir prosedural” pada komputer.

Ia mengklaim bahwa pemikiran komputasional dapat digunakan untuk mencari pola hubungan antara suatu masalah berdasarkan penataan data dan mengembangkan bahasa pemrograman bernama Logo pada 1960. Logo adalah bahasa pemrograman yang mengolah aktivitas pembelajaran individual. Tujuannya untuk membantu siswa dapat berpikir secara matematis dan logis.

Menurut Jeannete (2011), cara berpikir komputasional adalah metode untuk menyelesaikan masalah di mana otak dilatih berpikir secara logis, terstruktur, dan kreatif. Cara kerja komputasional ditandai empat hal.

Pertama, dekomposisi, yaitu mengolah komponen persoalan kecil dan sederhana, kemudian bertahap menyelesaikan persoalan yang kompleks. Kedua, pengenalan pola untuk mengidentifikasi ciri persamaan, perbedaan, dan keteraturan pola untuk membuat prediksi.

Ketiga, abstraksi untuk melakukan generalisasi berdasarkan hasil pemetaan hubungan benang merah antarpola-pola komponen. Keempat, algoritma untuk mengembangkan sistem petunjuk pemecahan masalah yang mirip.

Artinya, cara berpikir komputasional merupakan keterampilan cara bagaimana otak manusia belajar berpikir, yang tidak hanya terbatas dalam pengembangan aplikasi coding pada layar digital, tetapi juga dapat digunakan untuk mendukung pemecahan masalah di semua disiplin lintas ilmu pengetahuan lainnya.

Sebelum memasuki dunia coding, negara-negara yang telah menerapkan pembelajaran teknologi digital dalam kurikulum sekolah telah memperkuat kemampuan literasi sebagai dasar metode pemecahan masalah untuk mendukung cara berpikir komputasional di era 2014-2020. Negara-negara tersebut antara lain Selandia Baru, Amerika, Australia, Korea Selatan, Finlandia, Jepang, Singapura, China, dan India.

PERKUAT LITERASI dan PENDIDIKAN KARAKTER
Menerapkan pelajaran coding sulit terjadi tanpa dilandasi cara berpikir komputasional. Umumnya, anak bisa mengoperasikan teknik coding ketika memiliki pemahaman operasi matematika yang baik. Anak yang paham operasi matematika umumnya memiliki kemampuan berpikir kritis, paham instruksi, dan aturan operasi bilangan.

Kemampuan berpikir kritis dan mematuhi aturan merupakan salah satu hal yang berkaitan dengan pendidikan karakter. Sementara kemampuan memahami instruksi berasal dari kemampuan memahami makna dalam literasi. Artinya, cara berpikir komputasional harus memiliki fondasi literasi yang kuat.

Literasi bukanlah pengertian sempit seperti kemampuan teknis membaca huruf dan menulis saja. Literasi yang diperlukan siswa Indonesia adalah siswa dibiasakan melibatkan makna ketika membaca informasi untuk masuk ke dalam pembelajaran mendalam (deep learning) yang melibatkan kemampuan belajar caranya belajar. Hal ini akan membantu siswa mudah melihat benang merah antarlintas bidang (National Institute for Literacy, 1991).

Saat ini, dunia pendidikan sudah menikmati hasil kecerdasan buatan, salah satunya melalui ChatGPT untuk membantu mengerjakan tugas. Siswa dengan mudah mendapatkan berbagai sumber informasi tergantung dari instruksi berupa ”prompt” yang diberikan kepada ChatGPT. Selanjutnya, ChatGPT akan menghasilkan respons dengan menggabungkan semua jawaban berdasarkan algoritma big data atas topik yang ditanyakan.

Jika kemampuan literasinya lemah, siswa tidak dapat mengetahui dari mana informasi tersebut berasal. Kemampuan literasi yang rendah dapat membuat siswa enggan mempertanyakan dari mana kredibilitas informasi berasal, padahal ChatGPT dapat membuat kesalahan. Pertanyaannya ialah apakah siswa masih dapat menulis esai yang baik ketika mereka tidak lagi memiliki akses ke ChatGPT?

Kecerdasan buatan sedang mengubah cara anak-anak belajar, bahkan bersosialisasi. Sistem algoritma telah menjadi bagian dari kehidupan anak-anak yang tidak disadari. Misalnya, secara otomatis Youtube merekomendasikan video berikutnya untuk diputar berdasarkan riwayat tontonan anak. Ini merupakan contoh sederhana anak-anak telah berinteraksi dengan kecerdasan buatan secara tersembunyi karena telah menjadi kebutuhan.

Ying Xu (2024), peneliti dari Harvard Graduate School of Education, mengingatkan bahwa meskipun kecerdasan buatan dapat menyajikan informasi dalam gaya percakapan seperti manusia, kecerdasan buatan tidak memiliki keterlibatan emosi dan empati yang tulus, yang hanya dapat dirasakan anak ketika dicontohkan langsung oleh manusia. Kuncinya ada di pendampingan mencontohkan karakter baik oleh guru di sekolah dan orangtua di rumah.

ETIKA adalah KUNCI
Perkembangan kecerdasan buatan yang pesat sudah dibuktikan oleh kehadiran Sophia, robot humanoid pada 2016. Sophia mengesankan ekspresi natural dan mampu menjawab seperti manusia ketika menjawab pertanyaan karena kecerdasan buatan yang ditanamkan pembuatnya, yakni David Hanson.

Sophia adalah makhluk yang mirip manusia, tetapi tanpa jiwa. Hal ini justru telah menimbulkan ketakutan di kalangan para ahli komputer scientist. Secara terang-terangan Elon Musk, pendiri Tesla, mengaku takut dengan teknologi kecerdasan buatan karena bisa berbalik mengalahkan manusia. Hal ini bisa terjadi ketika manusia memiliki ketergantungan tinggi untuk selalu dipermudah teknologi.

Ketakutan Elon Musk sebenarnya sudah diperingatkan ribuan tahun yang lalu oleh kisah mitologi Yunani kuno sekitar 700 SM. Munculnya sosok robot Talos yang diberikan kecerdasan buatan oleh Hephaestus, sang Dewa Api yang piawai mengolah logam.

Talos awalnya diprogram menghabisi musuh untuk menjaga Pulau Kreta. Kemudian, Talos berbalik menjadikan warga lokal sebagai target karena ia tidak bisa membedakan lagi mana warga lokal dan musuh ketika masuk Pulau Kreta.

Ketakutan Elon Musk juga divalidasi oleh CEO Google Sundar Pichai yang mengingatkan etika adalah landasan yang harus dipegang perusahaan teknologi yang membangun kecerdasan buatan agar tidak merugikan manusia seperti pada kisah Talos.

Meskipun menguasai teknologi adalah penting, tetapi sesungguhnya ancaman Indonesia bukan karena ketinggalan teknologi, melainkan negara berulang kali menghasilkan produk pendidikan yang menghasilkan manusia dewasa yang melanggar etika karena meninggalkan pendidikan karakter.

Ifa Hanifah Misbach, Psikolog dan Dosen Prodi Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia

Instagram: ifa_h.misbach

Admin http://psikologi.upi.edu