
Kasus pelecehan seksual masih kerap diberitakan—namun pembicaraan sering kali berhenti pada aspek hukum atau sensasi. Padahal, dampak psikologis dari pelecehan bisa jauh lebih kompleks dan panjang, bahkan membuat korban berisiko mengalami transformasi perilaku yang tak terduga.
Isu penting ini disuarakan oleh Naura Nayla Khaerunnisa, mahasiswa Program Studi Psikologi FIP UPI, melalui artikel reflektifnya di SuaraTime berjudul “Dampak Pelecehan Seksual: Bagaimana Korban Bisa Berubah Jadi Pelaku?”. Dalam tulisannya, Naura mengajak pembaca menembus lapisan terdalam trauma yang dialami korban—yang, jika tidak dipulihkan dengan benar, dapat berubah menjadi siklus kekerasan baru.
Dengan mengacu pada teori trauma dan data empiris, artikel ini menjelaskan bahwa korban yang mengalami tekanan sosial, rasa malu, dan tidak memiliki akses ke dukungan psikologis bisa mengalami distorsi relasi sosial, kehilangan empati, bahkan memanipulasi pengalaman traumatis sebagai mekanisme bertahan yang salah arah.
“Kita terlalu cepat menilai tanpa memahami asal usul luka yang dipendam,” tulis Naura dalam refleksi kritisnya.
Refleksi Sosial: Luka yang Tak Disembuhkan Bisa Menyebar
Di tengah maraknya kampanye antikekerasan seksual, masih banyak korban yang merasa terisolasi, disalahkan, atau bahkan dipaksa diam oleh lingkungan sosial dan keluarga. Ironisnya, banyak pelaku yang ternyata dulunya adalah korban yang tidak pernah diberi ruang untuk pulih.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa kekerasan seksual bukan hanya tentang pelaku dan korban, tetapi juga tentang bagaimana lingkungan—baik keluarga, institusi pendidikan, maupun masyarakat—merespons trauma yang terjadi.
Program Studi Psikologi FIP UPI melihat artikel ini sebagai suara penting dari generasi muda psikolog, yang tidak hanya belajar teori tetapi juga peka terhadap realitas sosial. Artikel ini juga menjadi dorongan moral bahwa pendampingan psikologis terhadap korban pelecehan seksual harus menjadi prioritas bersama, bukan sekadar wacana.
Ajakan untuk Bergerak Bersama
Melalui publikasi mahasiswa ini, kami mengajak seluruh sivitas akademika dan masyarakat luas untuk:
- Membuka ruang aman bagi korban untuk bicara dan dipulihkan.
- Mengedukasi publik bahwa penyembuhan trauma adalah proses panjang yang perlu didampingi.
- Menghapus stigma bahwa korban selalu “lemah” atau “membesar-besarkan” pengalaman.
Isu ini bukan milik segelintir orang—ini isu kemanusiaan. Dan dari kampus, kami percaya perubahan bisa dimulai.
Baca artikelnya di sini:
https://www.suaratime.com/2025/01/dampak-pelecehan-seksual-bagaimana.html